(Monolog 4) TAHTA DI MEJA MAKAN
Seorang lelaki duduk di ujung meja, seolah kursi reyot itu singgasana, seolah kayu tua yang berderit di bawahnya adalah singgahnya kekuasaan. Dari bibirnya lahir kata-kata, tapi bukan kalimat, bukan nasihat, melainkan palu besi yang menghantam udara, menghancurkan ruang tenang jadi serpihan. Suaranya seperti guntur yang memaksa piring-piring bergetar, seperti petir yang menyalakan takut di dada anak-anak. Sendok pun enggan berdenting, seakan logam kecil itu tahu bahwa di meja ini, diam lebih berharga daripada bunyi.
Di seberang singgasana itu, seorang perempuan duduk dengan wajah tenang, namun matanya sumur dalam yang ditutup batu. Di sana, di dasar matanya, pernah tumbuh kunang-kunang impian, pernah ada nyanyian yang ingin menembus malam, pernah ada tarian yang hendak menyentuh cahaya bulan. Semua itu kini terkubur di periuk, dikunci rapat oleh asap dapur yang menjelma kabut, mengikat jemari, merantai suara, menyalib cita-cita.
Lelaki itu menyebut dirinya pelindung, tapi ia hanyalah tembok yang menolak cahaya masuk. Ia mengira dirinya pemimpin, padahal sekadar bayangan yang membesar di dinding, menelan lilin yang berusaha menyala. Dan perempuan itu ratu tanpa mahkota menunduk bukan karena setia, melainkan karena sayapnya dipatahkan sebelum sempat terbang. Kami, anak-anak, menyuap nasi bersama ketakutan yang masuk ke mulut bukan sekadar butir beras, melainkan juga perintah yang tak pernah diucapkan dengan cinta. Dari meja ini kami belajar bahwa tunduk adalah selimut, bahwa diam adalah doa, bahwa kasih bisa menjelma penjara. Rasa pun hilang, dan meja makan berubah jadi altar: tempat ego dipuja dengan doa-doa bisu.
Di tengah keheningan, pertanyaan kerap berdesakan di dada: adakah kerajaan lain yang lebih rapuh dari ini? Sebuah istana dengan pilar gengsi, sebuah takhta dari kayu lapuk, seorang raja yang berteriak kepada dinding, seorang ratu yang menyulam luka dengan senyum yang dipaksakan? Adakah cinta yang lebih menyakitkan daripada cinta yang menyamar jadi kewajiban?
Namun kami tahu, perempuan itu menyimpan sesuatu. Di lipatan terdalam hatinya, ada benih kecil yang ia sembunyikan dari mata sang raja. Benih itu menunggu musim yang berani, menunggu tanah yang retak, menunggu hujan yang tiba. Suatu hari, benih itu akan tumbuh meski harus menembus beton, meski harus merobek lantai takhta, meski harus menghancurkan meja yang selama ini jadi altar.
Mungkin saat itu kerajaan ini akan runtuh dan singgasananya hanya tinggal debu. Tapi bukankah memang begitu nasib segala yang dibangun dari takut? dari abu itu akan lahir taman bukan dengan bunga yang indah melainkan dengan mimpi-mimpi yang pernah dipaksa mati. Mereka akan bangkit bukan untuk merayakan tapi untuk bernafas kembali dengan napas yang getir, dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Mungkin hanya dengan itulah hidup akhirnya bisa benar-benar dimulai.
Komentar
Posting Komentar