(Monolog 2) SARAPAN SEBELUM TIDUR
"Sudah berapa lama jaring laba-laba itu bersarang di sana?" masih dengan mata yang teduh dan suara parau. Aku menjawab, "Mereka sudah lama di sana, aku takut laba-laba, maka tak ku bersihkan sarangnya."
Dalam keheningan malam yang melingkupi kami, jaring-jaring halus itu berkilau lembut, menampakkan cahaya rembulan. Seolah setiap benang yang melintang membawa cerita yang tak terucapkan. Kisah tentang kesepian, keabadian, dan harapan yang tertahan di antara celah-celahnya.
"Seharusnya kau tidak takut" ia melanjutkan, menatapku dengan tatapan yang dalam. "Laba-laba itu hanya menjalani takdirnya, sama seperti kita." Aku tertegun sejenak, menggenggam erat cangkir teh yang mengepul hangat di tanganku. Aroma harum menyusup ke dalam hati, seolah mengajak jiwa ini berbincang.
"Kau lihat, tuan" kataku, dengan suara bergetar di antara desiran angin malam. "Laba-laba mengajarkan kita tentang kesabaran. Dalam diam, mereka menunggu mangsanya. Dalam ketidakpastian, mereka terus membangun. Namun, apa yang bisa kuambil dari jaring yang begitu rapuh ini? yang bisa hancur hanya dengan hembusan lembut."
Ia tersenyum, mengangguk seolah memahami. "Mungkin kita semua butuh sarapan sebelum tidur, bukan? Makanan untuk jiwa, bukan hanya fisik. Sebelum malam menutup hari, kita perlu mencerna segala rasa, baik pahit maupun manis. Kegelapan bukanlah akhir, melainkan sebuah perjalanan menuju cahaya yang baru."
Di tengah percakapan ini, kulihat bayangan laba-laba yang melintas di sudut pandangku. Ia bergerak lambat, anggun, seakan menggambarkan tarian kehidupan yang tak tergesa-gesa. Dan saat itulah, kuingat semua sarapan yang tak pernah kujalani. Semua mimpi yang terhenti, semua rindu yang tak terungkap.
"Tuan" kataku lirih, "apakah kita akan selalu terjebak dalam sarang yang kita buat sendiri? Atau kita berani melangkah keluar, menantang dunia di luar sana?"
Ia menatapku, dan dalam keheningan itu, ada sebuah pengertian yang lahir. Seolah dua jiwa bertemu dalam sebuah perjalanan yang sama, meski langkah kita mungkin berbeda. Kita saling berbagi, menyusun kalimat-kalimat indah dari kepingan rasa yang kita miliki.
Malam ini, kami menyiapkan sarapan sebelum tidur. Bukan hanya sekadar makanan, melainkan harapan yang tertanam, mimpi yang akan kami wujudkan saat fajar menyapa. Dan jaring laba-laba itu, biarlah tetap bersarang. Karena mungkin, di sanalah keindahan terletak, dalam kerumitan yang tak terduga.
Akhirnya, kuletakkan cangkirku, mengajaknya untuk menikmati setiap detik yang tersisa sebelum malam menutup cerita ini. Seperti sarapan yang hangat, mari kita nikmati sisa-sisa harapan di dalamnya, sambil menunggu keajaiban datang, satu senyuman dalam gelap.
Komentar
Posting Komentar