Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2023

MENDAKI BUKIT MATAMU

Gambar
  Riuh rendah gelapnya hidup menjadi kisah lain Warna pelangi bagai hilang tepi Menghadirkan berjuta badai Di antara hadirku yang kesia-siaan.   Tertatih merintih untuk menepi Kalut asa berkecamuk menghampiri Hingga hilang sedu-sedan ini Saat ikrar terucap suci.   Almanak lusuh ku ganti Tanggal-tanggal menjelma, tak ada lagi nama hari Malam dan siang terlahir dariku Segala di dunia tergadai Hela nafaspun tak sampai kurasa Demi bongkahan tanah dengan kilau mengisi Menuainya untukmu.   Mendaki bukit matamu Selepas pelukan itu Aku tak gentar menyala,dalam bara rokokku sendiri Pada waktu yang terlewat ribuan rokok telah kuhisap Tanpa kata aku mengayuhnya Saat engkau terlelap dalam singgasana Tapi tak akan ku biarkan angkara menerpamu Meski apa itu? Di matamu.

METAFORA ASA

Aku melihat sebuah dunia yang tak berlatar Banyak benih yang terkubur namun tidak mendapatkan sinar  Lambungku jatuh dari tempat tidur hidupku memiliki kecenderungan untuk jatuh lalu sadar. Aku merobek kertas pada bab kematian Terlalu banyak hal yang kurencanakan namun sama sekali tak bisa kuwujudkan Aku tidak mau kepergian yang meninggalkan urusan Aku harap waktu memiliki belas kasihan. Jarum jam berhenti di pukul tiga Ainul hayat itu berada di sebuah tempat di mana terbit dan tenggelamnya pusat tata surya Kegelapan mengitarinya; Setan-setan memperebutkannya. Bulan memantulkan cahaya dengan daya tarik yang kuat  Sudut kemiringan bumi stagnan pada dua puluh tiga koma lima derajat. Bulan tidak pernah pergi; Bintang tidak pernah lelah; Itu hanya bumi yang senang menari-nari-berputar- dan selalu berganti wajah. Ke mana kesadaran manusia saat jiwanya terpenjara?  Di mana cinta berada saat dunia sedang mati rasa? Aku menutup buku dan kuharap seseorang  meneruskannya .

AKHIR-AKHIR INI, AKU GEMAR MENERKA-NERKA

Gambar
  Ada yang naik ke langit ada yang tumpah menyamudera Tatkala sumpah telah menjadi sampah Maka, pekik revolusi pun akan mati Namamu yang kini bergelar “Maha” Mahaguru, Mahasiswa membawa pada tunanurani Nyanyian teori diatas Menara Gading itu Sungguh hanya kesia-siaan Rongrongan-rongrongan Dentuman kebenaran, pekikan keadilan Sudut-sudut yang dulu penuh debat dialektis serta lingkar diskusi Kini hampa tanpa aksi   Hari-hari suara megaphone bersahutan Jari-jari manis bersua kejam seakan menutup sadar Mereka takut ancaman ujung pena yang membungkam Di anggap bertindak makar karena sok berkoar Di anggap terlampau rimbunnya kelam   Akhir-akhir ini, aku gemar menerka-nerka.

MEMAKNAI AKU DAN KAU

Gambar
  Ku maknai aku, Sekelebat musim-musim lusuh Perempuan rusuh Dengan luka yang tertuang Pada secangkir kalut Yang menangkap bulan tepat di tengahnya. Ku maknai aku, Malam yang mengaratkan usia Menerima kebisingan tanpa kebijaksanaan Menua senasibnya Ku maknai aku, Gedung bertingkat dan trotoar Tiba-tiba menjadi rimba Tempat banyak harimau dan batang kayu. Ku maknai aku, Taman yang lebih pandai melukis bangau Menjadi nyanyian kayu terbakar Yang saling tikam dengan kemesraan. Kau maknai aku, Langit menguning malam menyerah Lembar-lembar kesadaran telah kita tinggalkan membumbung Tak ada asap tak ada sekam Hanya musim do'a Melenggang lengang menuju keabadian. Ku maknai kau, Masih bolehkah aku meminta malam-malammu itu kekasih  Sebagai penghulu  Antara aku dan surga  Sebaqanya                                                        ...